Dongeng Panarukan



Seperti Yang Arie Budi Darmawan Ceritakan Pada Saya
Aku dilahirkan di kota ini, tiga puluh tahun yang lalu. Orang-orang menyebut kotaku dengan nama Situbondo, tapi ada juga yang masih suka menyebutnya Kota Panarukan.

Di Pelabuhan lama Panarukan - Djakarta Lloyd

Aku masih ingat ketika aku masih kecil, ada serombongan orang-orang dari Jerman menenteng berbagai macam peralatan media rekam. Ternyata mereka sedang proses membuat film, dengan latar belakang Pelabuhan Panarukan Djakarta Lloyd. Senang sekali melihat Opa Jhon Martens (Opaku dari pihak Ibu) menjadi pemeran figuran dalam proses produksi film berjudul Victoria itu. Itu sudah sangat lama sekali, antara 1994 - 1995, saat aku masih SD.
Banyak yang berkisah tentang Situbondo tempo dulu. Sama seperti kisah-kisah klasik lainnya, mereka juga bertutur tentang bagaimana dulu Situbondo begitu makmur dan sentosa. Ada banyak petinggi kerajaan-kerajaan nusantara yang senang berkunjung ke Pelabuhan Panarukan. Itu saat Panarukan terkategori sebagai Pelabuhan Internasional. Konon, pada 1359 Raja Hayam Wuruk pun pernah sengaja berkunjung ke kota kelahiranku.
Dapat kubayangkan, betapa dulu pelabuhan ini memiliki kedudukan yang istimewa. Bisa jadi karena terletak di tepi jalan perdagangan yang ramai. Letak Situbondo yang ada di daerah pesisir utara pulau Jawa, semakin membuatnya terlihat keren lagi strategis.
Setiap kota pasti memiliki asal usul, sebuah cerita rakyat yang berkembang dari mulut ke mulut. Begitupun dengan kotaku. Ada yang bilang, asal usul Situbondo dimulai dari nama seorang pangeran asal Madura yang bernama Aryo Gajah Situbondo, yang makamnya ditemukan di wilayah kota. Ada juga cerita rakyat dengan versi berbeda. Katanya, nama Situbondo berasal dari kata siti bondo, yang berarti tanah yang mengikat, untuk menegaskan bahwa daerah ini menarik setiap pendatang yang tiba untuk menetap di tanah tumpah darahku. Menurut beberapa orang, dulu Situbondo merupakan suatu situ atau danau yang besar.
Di zaman kejayaan kerajaan kerajaan Jawa dahulu Situbondo merupakan bagian dari konflik konflik perebutan wilayah dan kekuasaan Majapahit, Blambangan dan di daerah inilah diyakini perang Paregreg sebagai bagian dari kehancuran Majapahit terjadi.
Hmmm.. Tak ada yang pernah menceritakan tentang kerajaan KETA padaku. Padahal, aku sungguh ingin mengetahuinya, sebab yang aku tahu hanya samar-samar saja.
Pada tanggal 10 Oktober 1996, terjadi kerusuhan anti-Kristen dan anti-orang keturunan Tionghoa di kabupaten Situbondo, di Jawa Timur. Waktu itu aku masih SMP dan aku melihatnya. Itu adalah suasana yang sangat tidak menyenangkan. Dalam hati, aku selalu berdoa. Semoga tidak terulang kejadian yang sama, karena hal itu sangatlah menyebalkan.
Ketika aku kuliah di Fakultas Sastra UJ dan telah berkenalan dengan dunia internet, aku mencoba mencari sendiri tentang sejarah kota kecilku. Dan inilah yang aku dapatkan.
Sejarah Silam Panarukan
Panarukan adalah salah satu bandar kuno yang telah mempermainkan peranannya sejak berabad-abad yang lampau. Itu disebabkan di kawasan Panarukan (sekarang Situbondo) terdapat pelabuhan-pelabuhan penting seperti Panarukan, Kalbut dan Jangkar. Bahkan kota Panarukan pada abad ke-14 merupakan salah satu pangkalan penting bagi kerajaan Majapahit. Di Panarukan sudah berdiri kerajaan Keta (nama itu abadi sebagai desa Ketah di kecamatan Suboh, Situbondo).
Yess, akhirnya kutemukan juga cerita tentang Keta. Konon, untuk merebut Keta - sebagaimana dituturkan dalam Negarakretagama pupuh XLIX/3 Majapahit melakukannya dengan kekuatan senjata. Itu adalah saat dimana Gajah Mada masih belum diangkat menjadi patih oleh Tribuwana Tunggadewi. Jika mengikuti catatan Kerajaan Sadeng (di Puger - Jember), penumpasan Keta oleh Majapahit dilakukan pada 1331 Masehi.
Kawasan Situbondo di masa silam termasuk ke dalam wilayah Wirabhumi. Dilihat dari segi nama, dapat diasumsikan bahwa penduduk di kawasan Wirabhumi adalah orang-orang yang memiliki sifat ksatria yang gagah perkasa dan tidak gampang tunduk kepada siapa saja yang ingin menguasai mereka. Mereka adalah orang-orang yang memiliki harga diri dan kehormatan tinggi. Mereka adalah orang-orang yang ingin merdeka dari tekanan siapa pun yang datang dari luar.
Wew, semoga itu tidak menjadikanku narsis.
Tercatat oleh sejarah (meski kadang samar), bahwa di daerah Wirabhumi ini telah sering pecah peperangan. Perang terbesar yang pada gilirannya meruntuhkan Majapahit, yakni Perang Paregreg terjadi di kawasan ini. Sejak kekuatan Bhre Wirabhumi dihancurkan Wikramawardhana dalam Perang Paregreg, daerah Wirabhumi seperti terlepas dari kontrol Majapahit. Rakyat di daerah itu menyusun sejarahnya sendiri. Bahkan saat agama Islam sudah menyebar di pulau Jawa abad ke-16, kawasan Wirabhumi sepertinya tetap berada di dalam cengkeraman raja-raja lokal yang masih beragama Hindu.
Berikut adalah kronik kejadian di Panarukan, dilihat dari kisaran tahun-tahun tertentu:
1. 1535 - Ada seorang musafir Portugis bernama Galvao mengunjungi Panarukan. Galvao mencatat bahwa masyarakat di kawasan itu masih beragama Hindu. Seminggu sebelum kedatangannya, demikian Galvao, ia mendengar cerita bahwa ada seorang janda yang baru saja membakar diri untuk ikut mati bersama suaminya.
2. 1546 - Sultan Trenggana dari Demak menyerang Panarukan dan beliau gugur dalam serangan tersebut. Sekalipun harus ditebus dengan gugurnya Sultan Trenggana, namun Demak berhasil menguasai wilayah Panarukan. Agama Islam pun mulai berkembang di Panarukan.
3. 1575 - Panarukan direbut oleh raja Blambangan, Santaguna, yang masih beragama Hindu. Itu dilakukan secara tiba-tiba.
4. 1579 - Seorang romo Jezuit, Bernardino Ferrari mengunjungi Panarukan untuk melayani orang-orang Portugis yang tinggal di situ. Ia berlayar dengan kapal Portugis yang berpangkalan di Malaka. Di kota pelabuhan itu ia mendapat sambutan ramah. Raja Santaguna bahkan meminta, dengan perantaraan perutusan, supaya lebih banyak misionaris dikirim.
5. 1585 - Romo-romo kelompok biarawan Capucijn dari Malaka yang beroperasi juga di Blambangan berhasil mentahbiskan seorang imam berhala, saudara sepupu raja kafir (Santaguna) di situ menjadi orang Kristen. Beberapa waktu berselang, bangsawan yang telah dikristenkan itu dibunuh oleh rakyat (De Graef, l986).
6. 1596 - raja Pasuruan melakukan serangan ke Panarukan yang saat itu dirajai oleh keturunan Raja Santaguna yang dipertahankan pasukan-pasukan dari Bali pimpinan Jelantik. Dalam suatu pertempuran yang sengit, pasukan Islam berhasil meraih kemenangan bahkan berhasil menewaskan Jelantik.
7. 1600 - Sejak tahun 1600 (begitu menurut catatan sejarah) Panarukan telah menjadi Islam.
8. Pada perempat akhir abad 16, menurut catatan sejarah daerah Situbondo tepatnya di sekitar Demung dan Ketah telah dijadikan ajang pertempuran akibat pertarungan antar kepentingan kelompok yang bersengketa dalam upaya merebut kekuasaan Mataram dari Amangkurat I. Dalam pertempuran itu, kekuatan Mataram yang berada di bawah perintah Amangkurat I berhadapan dengan pejuang Makassar yang secara rahasia berada di bawah perintah Adipati Anom, putera mahkota.
9. 25 Januari 1674 - Menurut catatan Belanda dalam Daghregister, Demung dekat Panarukan telah dijadikan benteng pertahanan oleh pasukan Makassar di bawah pimpinan Karaeng Bonto Marannu. Sejak Oktober 1674, orang-orang Makasar itu ditengarai telah menjadikan Demung sabagai tempat tinggalnya.
10. Di akhir tahun 1674 - Dalam catatan sejarah diketahui bahwa orang-orang Makassar dari pangkalannya di Demung telah melakukan penyerangan ke kota-kota di sepanjang pantai utara Jawa Timur. Kota pelabuhan Gerongan yang merupakan pelabuhan beras, misalnya, dalam waktu singkat dikuasainya. Mereka bahkan membunuh awak perahu milik warga Batavia Struys. Anehnya, para pejabat Mataram di kawasan pantai utara tak menunjukkan reaksi melihat daerahnya dilanda kerusuhan.
11. Menurut De Graaf (l987) Pangeran Adipati Anom rupanya telah memberikan perintah agar para pejabat Jawa tidak mengambil tindakan terhadap orang-orang Makassar yang melakukan penyerangan dan perampasan itu. Kepatuhan para penguasa setempat yakni bupati-bupati di daerah Surabaya dan Gresik atas perintah Pangeran Adipati Anom itu ternyata berakibat fatal. Sebab Sunan Amangkurat I kemudian memerintahkan agar para pejabat itu dibunuh.
Sejarah memang mencatat bahwa dalam proses suksesi atas kekuasaan Amangkurat I itu, telah terjadi berbagai macam rekayasa politik yang mengorbankan nyawa rakyat kecil yang terombang-ambing oleh ketidak-pastian angin kekuasaan. Para pejabat daerah setingkat bupati dihadapkan pada pilihan untuk patuh pada dua jalur perintah yang bertolak-belakang yakni perintah dari putera mahkota dan perintah sunan.
Akibat dari manuver politik yang makin lama makin transparan itu, Pangeran Adipati Anom pada gilirannya dituduh mau merebut kekuasaan selagi ayahandanya masih berkuasa. Karena itu, ia dibenci oleh Sunan yang sudah tua itu, dan adiknya Pangeran Singasari ditetapkan sebagai pengganti ayahnya. Pangeran Puger dan Pangeran Sampang, memang telah menyatakan dukungan terhadap Pangeran Adipati Anom sebagai pengganti ayahnya, tetapi banyak pangeran lain yang bersumpah akan mendukung keputusan Sunan.
Kekisruhan situasi akibat proses suksesi dewasa itu berlangsung di mana-mana. Kekacauan yang pecah di pedalaman Jawa Timur dan sebagian Jawa Tengah, dikendalikan oleh Trunojoyo yang berpangkalan di Kediri. Sedang kekacauan di pantai utara Jawa Timur dan sebagaian Jawa Tengah dikendalikan oleh orang-orang Makassar di bawah Karaeng Bonto Marannu, Karaeng Galesong, Karaeng Tallo, dan sebagainya.
Menurut Jonge (dalam De Graaf, 1987) Sunan Amangkurat I yang marah karena merasa dikhianati putera mahkota itu mengirimkan 100 perahu perang ke Demung dengan membawa pasukan ribuan orang. Pasukan dipimpin Raden Prawirataruna dan Rangga Sidayu. Kekuatan laut Mataram itu kemudian bergabung dengan armada Belanda pimpinan Jan Franszen. Dan antara 17 - 24 Mei 1676 terjadi pertempuran antara pasukan Jan Franszen dengan pasukan Makassar di Demung. Sedang pasukan Rangga Sidayu bertempur di Keta. Namun dalam serbuan itu, pihak Mataran mengalami kehancuran dan panglima-panglima perangnya tewas dengan cara mengenaskan.
Rekayasa yang dilakukan oleh Pangeran Adipati Anom untuk merebut kekuasaan ayahandanya itu pada akhirnya memang berhasil sukses. Sebab setelah terjadi kerusuhan-kerusuhan di berbagai daerah yang akhirnya marak ke ibukota Mataram hingga Amangkurat I yang rambutnya sudah penuh uban itu mengungsi dan kemudian mati di Wanayasa tepatnya di Tegalwangi sebagaimana ditulis dalam Babad Tanah Jawi, maka Pangeran Adipati Anom diangkat menjadi raja Mataram. Namun dalam catatan Valentijn (dalam De Graaf, 1987) disebutkan bahwa untuk mempercepat matinya Sunan Amangkurat I dalam pengungsian itu, putera mahkota yakni Pangeran Adipati Anom telah memberikan sebutir pil.
Terlepas dari keberhasilan Pangeran Adipati Anom dalam melakukan rekayasa untuk merebut kekuasaan dari ayahnya, yang jelas akibat dari rekayasa itu adalah kehancuran daerah di sekitar Demung dan Ketah akibat perang dan kerusuhan. Bahkan tidak terhitung berapa jumlah korban yang harus mati dalam rekayasa itu. Yang jelas, korban itu umumnya adalah rakyat pedesaan dan prajurit-prajurit rendahan.
Penutup
Aku mendapatkan data di atas dari fica, dan aku senang karena sedikit mengerti tentang kisah masa silam. Sekarang waktunya bagiku untuk melangkah dan menggoreskan sejarah sendiri. Membuang yang buruk, mengembangkan yang bijak, kemudian melangkah kemudian terbang dan berdendang.
Lanjutan kisahnya bisa dibaca di catatan selanjutnya yang berjudul:

Rz Hakim

Follow On Twitter